12 Persamaan
Syi'ah dan Yahudi
Prakarsa Seorang
Yahudi Menelurkan Syiah
------------------------------------------------
Orang-orang Yahudi adalah yang pertama
kali menebarkan racun di dalam agama Islam untuk memalingkan putra-putra Islam
dari agama dan akidah yang lurus. Dan adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi
gembong munafik yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Dia
geram melihat Islam tersiar dan tersebar di jazirah Arab, di Imperium Romawi,
negeri-negeri Persia sampai ke Afrika dan masuk jauh di Asia, bahkan sampai
berkibar di perbatasan-perbatasan Eropah.
Ibnu Saba’ ingin menghadang langkah Islam supaya
tidak mendunia. Karenanya, ia merencanakan makar bersama Yahudi San’a (Yaman)
untuk mengacaukan Islam dan ummatnya. Mereka menyebarkan orang-orangnya
termasuk Ibnu Saba’ sendiri ke berbagai wilayah Islam, termasuk ibukota
Khalifah, Madinah. Mereka mulai menyulut fitnah dengan memprovokasi orang-orang
lugu dan berhati sakit untuk menentang Khalifah Utsman. Pada waktu itu juga
mereka memperlihatkan rasa cinta kepada Ali bin Abi Thalib t.Mereka mengaku
sebagai pendukung kelompok Ali, padahal Ali tidak ada sangkut pautnya dengan
mereka.
Fitnah ini terus menggelinding. Mereka mencampur
pemikiran mereka dengan akidah-akidah yang rusak. Dan mereka menyebut diri
sebagai “Syiah Ali” (pendukung Ali), padahal Ali membenci mereka bahkan Ali
sendiri telah menghukum mereka dengan siksaan yang pedih. Begitu pula
putra-putra dari keturunan Ali membenci dan melaknat mereka. Tapi, kenyataan
ini ditutup-tutupi serta kemudian diganti secara licik dan keji.
Pengakuan Tokoh-tokoh Besar Syiah
Seorang ‘Ulama Syiah pada abad ke-3
Hijriyah, Abu Muhammad Al-Hasan bin Musa An-Nubakhti mengatakan dalam kitabnya,
“Abdullah bin Saba’ adalah orang yang menampakkan cacian kepada Abu Bakar,
‘Umar dan Utsman serta para sahabat, ia berlepas diri dari mereka dan
mengatakan bahwa Ali telah memerintahkannya berbuat demikian. Maka Ali
menangkapnya dan menanyakan tentang ucapannya itu. Ternyata ia mengakuinya,
maka Ali memerintahkan untuk membunuhnya. Orang-orang berteriak kepada Ali,
“Wahai Amirul mukminin! Apakah Anda akan membunuh seorang yang mengajak untuk
mencintai Anda, ahlul bait, keluarga Anda dan mengajak untuk membenci
musuh-musuh Anda?” Maka Ali mengusirnya ke Madain (ibukota Iran waktu itu).
Dan sekelompok ahli ilmu dari sahabat Ali
mengisahkan bahwa Ibnu Saba’ adalah seorang Yahudi lalu masuk Islam dan
menyatakan setia kepada Ali. Ketika masih Yahudi ia berkata bahwa Yusa’ bin Nun
adalah washi (penerima wasiat) dari Nabi Musa u—secara berlebihan. Kemudian
ketika Islamnya, setelah wafatnya Rasulullah r, ia mengatakan tentang Ali
sebagai penerima wasiat dari Rasulullah (sebagaimana Musa kepada Yusa’ bin
Nun).
Dia adalah orang pertama yang menyebarkan faham
tentang Imamah Ali, menampakkan permusuhan terhadap musuh-musuh Ali (yang tidak
lain adalah para sahabat yang dicintai Ali) dan mengungkap para lawannya. Dari
sanalah orang-orang di luar Syiah mengatakan bahwa akar masalah “Rafdh”
(menolak selain Khalifah Ali) diambil dari Yahudi.
Ketika kabar kematian Ali sampai ke telinga Ibnu
Saba’ di Madain dia berkata kepada yang membawa berita duka, “Kamu berdusta,
seandainya engkau datang kepada kami dengan membawa (bukti) otaknya yang
diletakkan dalam 70 kantong dan saksi sebanyak 70 orang yang adil, kami tetap
meyakini bahwa dia (Ali) belum mati dan tidak terbunuh. Dia tidak mati sebelum
mengisi bumi dengan keadilan.” Demikianlah ucapan orang yang dipercaya oleh
semua orang Syiah dalam bukunya “Firaq Asy-Syiah” (hal. 43-44. Cet
Al-Haidariyah, Najef 1379 H).
Kini setelah lebih dari seribu tahun sebagian
pemimpin ulama Syiah mengingkari keberadaan sosok Ibnu Saba’ dengan tujuan
supaya tidak terbongkar kebusukan mereka. Namun di sisi lain, banyak
kitab-kitab Syiah yang mengukuhkan tentang keberadaan Ibnu Saba’ sebagai
peletak batu pertama agama Syiah. Sebagian ulama Syiah kontemporer telah
mengubah pola mereka dan mulai mengakui adanya tokoh Ibnu Saba’, setelah bukti
tampak di depan mata mereka dan tidak bisa lagi mengelak. Mengelak harganya
sangat mahal bagi mereka sebab konsekuensinya adalah menganggap cacat sumber-sumber
agama mereka. Karena itu, Muhammad Husain Az-Zen seorang Syiah kontemporer
mengatakan, “Bagaimanapun juga Ibnu Saba’ memang ada dan dia telah menampakkan
sikap ghuluw (melampaui batas), sekalipun ada yang meragukannya dan
menjadikannya tokoh dalam khayalan. Adapun kami sesuai dengan penelitian
terakhir maka kami tidak meragukan keberadaannya dan ghuluwnya.” (Asy-Syiah wa
At-Tarikh, hal. 213).
Kemiripan Dua Saudara Kembar,
Syiah dan Yahudi Lahir dari Yahudi,
menjadikan Syiah dan Yahudi memiliki banyak persamaan. Di antaranya:
1. Yahudi telah mengubah-ubah Taurat, begitu pula
Syiah, mereka punya Al-Qur’an hasil kerajinan tangan mereka yakni “Mushaf
Fathimah” yang tebalnya 3 kali Al-Qur’an kaum Muslimin. Mereka menganggap ayat
Al-Qur’an yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat, dan menuduh sahabat menghapus
sepuluh ribu ayat lebih.
2. Yahudi menuduh Maryam yang suci berzina (QS.
Maryam: 28), Syiah melakukan hal yang sama terhadap istri Rasulullah
‘Aisyah—radhiallahu ‘anha—sebagaimana yang diungkapkan Al-Qummi (pembesar
Syiah) dalam Tafsir Al-Qummi (II/34).
3. Yahudi mengatakan, “Kami tidak akan disentuh
oleh api neraka melainkan hanya beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah: 80).
Syiah lebih dahsyat lagi dengan mengatakan, “Api neraka telah diharamkan
membakar setiap orang Syiah”, sebagaimana tercantum dalam kitab mereka yang
dianggap suci Fashl Kitab (hal.157).
4. Yahudi meyakini, Allah mengetahui sesuatu
setelah terjadinya sesuatu itu padahal Allah tadinya tidak tahu, begitu juga
dengan Syiah. Orang-orang Syiah menyebutnya sebagai akidah al bada’.
Abu Abdillah berkata, “Seseorang belum dianggap
beribadah kepada Allah sedikit pun, hingga ia mengakui adanya sifat bada’ bagi
Allah.” (Ushulul Kafi fi Kitabit Tauhid: 1/331).
Bayangkan, mereka menisbahkan kebodohan kepada
Allah yang telah berfirman,
“Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan
di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65).
Sementara di sisi lain, mereka berkeyakinan bahwa
para imam mereka mengetahui segala ilmu pengetahuan dan tak ada sedikit pun
yang samar baginya.
Al Kulaini, seorang ulama paling terpercaya di kalangan
Syiah berkata di dalam bukunya, “Bab bahwa para imam mengetahui ilmu yang telah
dan akan terjadi, dan tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi bagi mereka.”
(Al Kafi: 1/261).
5. Yahudi berkata “Tidak layak (tidak sah) kerajaan
itu melainkan di tangan keluarga Daud.” Syiah berkata, ”Tidak layak Imamah itu
melainkan pada Ali dan keturunannya.”
6. Yahudi menghalalkan darah setiap muslim.
Demikian pula Syiah, mereka menghalalkan darah Ahlussunnah/Sunni.
7. Yahudi tidak menetapkan adanya jihad hingga
Allah mengutus Dajjal. Syiah Rafidhah mengatakan,”Tidak ada jihad hingga Allah
mengutus Imam Mahdi datang.”
8. Orang-orang Yahudi memberikan kepemimpinan
kepada anak keturunan Nabi Harun, bukan keturunan Nabi Musa. Demikian pula
orang-orang Syiah, mereka memberikan kepemimpinan kepada keturunan Al Husein,
bukan Al Hasan.
Dalam riwayat orang-orang Syiah disebutkan, dari Hisyam
bin Salim, dia berkata, “Aku berkata kepada Ash-Shadiq Ja’far bin
Muhammad—‘alaihimas salam, manakah yang lebih utama Al Hasan atau Al Husein?”
Maka dia berkata, “Al Hasan lebih utama dari Husein.” Aku berkata, “Lalu
bagaimana bisa imamah setelah Al Husein ditampuk keturunan Al Husein, bukan
keturunan Al Hasan?” Maka Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah—Tabaraka wa
Ta’ala—menyukai jika sunnah Musa dan Harun berlaku kepada Al Hasan dan Al
Husein—‘alaihimas salam. Apakah engkau tidak melihat bahwasanya Musa dan Harun
itu keduanya adalah nabi? Demikian pula Al Hasan dan Al Husein, keduanya adalah
imam. Tapi, Allah menjadikan nubuwwah bagi keturunan Harun, bukan Musa,
walaupun Musa lebih afdhal dari Harun—‘alaihimas salam.
9. Syiah Imamiyah menetapkan 12 imam mereka untuk
menyerupai jumlah pemimpin dari kalangan Bani Israil, sebagaimana disebutkan
dalam QS. Al Maidah: 12.
10. Orang-orang Yahudi membenci Jibril. Mereka
mengatakan bahwa Jibril adalah musuh kita dari kalangan malaikat. Adapun Syiah
berkata, Jibril telah keliru dalam menyampaikan wahyu kepada Rasulullah. Mereka
juga berkata, “Sesungguhnya Jibril telah berkhianat ketika menyampaikan wahyu
kepada Muhammad, padahal sepantasnya dan yang lebih berhak adalah Ali bin Abi
Thalib t.”
Inilah Syiah, bagaimana bisa mereka menuduh Jibril
berkhianat, padahal Allah telah menyifatinya dengan al amin (yang dapat
dipercaya) dalam firman-Nya, “Yang dibawa turun oleh ar-Ruh al Amin (Jibril).”
(QS. As-Syu’ara: 193).
11. Yahudi sangat keras memusuhi kaum Muslimin, firman
Allah, artinya: “Pasti kamu akan dapati orang yang paling keras permusuhannya
terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.”
(QS. Al Maidah: 82).
Demikian pula dengan orang-orang Syiah, sangat
memusuhi ahlus sunnah waljamaah, bahkan menganggap mereka sebagai najis.
12. Yahudi dan Syiah, keduanya tidak bersifat adil
dalam memberikan kecintaan dan kebencian. Di satu sisi, Yahudi bersifat ghuluw
terhadap sebagian nabi dan orang-orang shaleh mereka. Mereka menempatkannya
sebagai sembahan yang diagungkan. Seperti perkataan mereka yang dikutip dalam
al Qur’an, “’Uzair anak Allah.” (Qs. At-Taubah: 30). Namun di sisi lain, mereka
mencela sebagian nabi dan menuduh mereka sebagai penjahat. Demikian pula dengan
Syiah, Anda melihat mereka berlebih-lebihan mengagungkan Ali t dan sebagian
keturunan beliau, bahkan menempatkan mereka sebagai sembahan dan berkeyakinan
bahwa Allah bersatu dalam dzat mereka. Namun di sisi lain, mereka mencela
sahabat dan kaum Muslimin. Menuduh mereka munafik dan kafir.
Meski banyak memiliki persamaan, Yahudi dan Nasrani
telah selangkah lebih maju dari Syiah dalam hal etika. Ketika orang-orang
Yahudi ditanya, “Siapa penganut terbaik agama kalian?” Mereka menjawab,
“Sahabat-sahabat Musa.” Orang-orang Nashrani pun ditanya dengan pertanyaan yang
sama, jawaban mereka, “ Para penolong ‘Isa.” Dan ketika orang-orang Syiah
ditanya, “Siapa pengikut paling durhaka dari agama kalian?” Mereka menjawab,
“Sahabat-sahabat Muhammad.”
Bagi mereka firman Allah, artinya: “Tidakkah engkau
memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab (Taurat)? Mereka
percaya kepada Jibt dan Thagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir, bahwa
mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman. Mereka
itulah orang-orang yang dilaknat Allah. Dan barangsiapa dilaknat Allah, niscaya
engkau tidak akan mendapatkan penolong baginya.” (QS. An-Nisaa’: 51-52).
Al Fikrah No. 20 Tahun X/28 Jumada al Akhirah 1430
H